Kisah ini tettang seorang pedagang yang bermurah hati. Sebelum berangkat ke India untuk urusan dagang, ia bertanya kepada para budaknya :
Katakanlah oleh-oleh apa yang kalian inginkan dari India?”
Satu persatu budak menyampaikan sesuatu apa yang di inginkannya. Terakhir giliran burung Beo milik pedanga tsb, “Tuanku, tolong sampaikan salam hormatku kepada burung beo di india. Sekaligus mohon ceritakan keadaanku di sini, bahwasanya aku harus menjalanitakdir hidup ini terkurung dalam sangkar. Mungkin diantara mereka ada yang akan menyampaikan sesuatu untukku. Mungkin ada tuntunan, bimbingan atau nasihat.”
Burung Beo dalam kisah ini mewakili jiwa manusia---jiwa manusia yang hidup dalam sangkar dunia. Benda-benda duniawi yang memperbudak kita ibarat majikan yang murah hati. Hidup kita dalam sangakar dunia ini cukup nyaman. Barang-barang keperluan sudah tersedia. Malah ditanyai,”mau apa lagi?”
Para budak menyampaikan keinginan mereka---“aku butuh ini. Aku perlu itu.”sangat tidak sadar. Mereka sudah terbiasa diperbudak.
Kisah ini membutuhkan perenungan yang amat sangat mendalam. Sikap kita selama ini, tidak lebih baik dari pada para budak dalam kisah ini. Kita berdoa untuk apa? Untuk memohon rejeki, pangkat, kesehatan, jodoh, memohon ini,itu. Semuanya membuat kita nyaman. Tetapi hidup sebagai apa? Hidup sebagai budak. Hidup dimana? Hidup di dalam sangakar. Kita tidak pernah berdoa memohon pembebasan dari sangkar dunia. Kita lupa bahwa hidup diluar sana jauh lebih berarti daripada hidup nyaman dalam sangkar. Pilihanya memang hanya itu hidup bebas atau hidup nyaman. Dan para budak akan memilih hidup nyaman. Mereka yang di perbudak oleh nafsu,panca indera akan selalu ingin hidup nyaman.
Hanya satu dua orang di antara kita yang menyadari arti kebebasan.seperti burung beo dalam cerita ini, ia tidak akan meminta sesuatu untuk menambah kenyamanan diri. Ia memohon petunjuk,bimbingan dan nasihat dari soudara-soudaranya sejenis yang tinggal di India.
Kenapa India? Kenapa bukan salah satu negeri di timur tengah. Kebijakan ada di mana-mana, bisa di peroleh dari mana saja. Tidak perlu menciptakan pemisah antara arab dan india. Tidak perlu membangun dinding pemisah langit dan bumi. Tidak Membedakan barat dan timur.
Masyarakat Indonesia sudah berapa lama ini mengalami pengkotak-kotakan. Kita memisahkan manusia denga manusia. Kita memisahkan Indonesia dengan Indonesia. Semua itu menggunakan symbol-simbol agama.
Burung beo dalam kisah ini sadar ia berada dalam sangkar. Ia tidak mengeluh. Ia hanya menyampaikan keadaannya. Ia merintih dan rintihannya menembus tujuh lapisan langit. Jika seorang menyadari perbudakan dirinya. Lalu sekali saja iy merintih,”Ya Allah” maka Allah akan menanggapinya seratus kali.
Seusai pamitan dengan para budaknya. Pedangang pun berangkat ke India. Pada sauatu hari di melihat beberapa ekor burung beo sedang beterbangan bebas. Si pedagang langsung turun dari kuda yang di tungganginya dan menyampaikan pesan si burung beo miliknya.
Mendengarkan pesan itu, salah satu di antara burung beo menggigil,jatuh dan mati. Pedagang menyesali perbuatannya. “ burung beo ini pasti kerabat dekat burung beo yang saya miliki. Karena itu dia ikut merasakan penderitaannya.” Piker sei pedagang. Tetapi apa boleh buat ia tidak bisa menarik perkataannya. Sementara burung beo yang mendengar perkataannya sudah mati.
Pulang dari india dia membagi-bagikan oleh-oleh kepada budak-budaknya. Mereka pun senang karena mendapatkan apa yang di inginkannya. Dan giliran burung boe, dengan berat hati pedangang menyampaikan apa yang terjadi di India.” Rupanya yang mati itu kerabat dekatmu. Aku menyesal dengan apa yang terjadi.”
Tiba-tiba burung beo milik pedagang itu pun mulai menggigil, persisi seperti apa yang terjadi pada burung beo di India, lalu jatuh dan mati. Sang pedagangpun tambah sedih,” Apa yang telah aku lakukan? Aku telah menjadi sebab kematiannya. Dan semua itu terjadi karena mulutku. Karena ucapanku. Karena lidahku. Setajam ujung anak panah yang menyebabkan 2 kematian.
Sambil berpikir demikian, pelan-pelan ia mengeluarkan burung itu dari sangkarnya. Begitu berada di luar sangkar, burung beo milik sang pedangang itu langsung melepaskan diri dari tangan sang pedagang dan terbang jauh.
Si pedangang hamper tidak mempercayai matanya,” Apa yang terjadi?” nasihat apa, isyarat apa yang kau peroleh dari burung di India, sehingga kau meniru dia dan membebaskan dirimu dari sangkar?”
“Nasiahat dia jelas sekali. Aku terperangkap karena ulahku sendiri. Suaraku merdu aku bisa bicara. Banyak orang yang ingin memiliki aku. Dan pada suatu ketika aku terperangkap dan di jual kepada tuanku.”
“Dengan sangat jelas aku menagkap bahasa isyarat dari kerabatku di India.”kalau mau bebas, jangan banyak bicara. Berhenti memamerkan kebolehanmu dan kau akan terbebaskan…..”
Matilah bagi dunia dan kau akan terbebaskan. Selama ini kita terlalu hidup bagi dunia. Selama ini kita mati bagi roh. Yang kita pikirkan dunia melulu. Yang kita urusi hanyalah dandanan luar saja sehingga keindahan jiwa hamper tidak terurusi.kalaupun kita rajin ibada dengan menunjukkan kepada dunia bahwa kita taat agama itu hanya dandanan luar saja.
Peasan burung beo dari india itu sarat dengan makna. Kalau mau bebas jangan sombong,angkuh,arogan, jangan pamer. Kebebasan itu apa? Bebas dari rasa kesombongan itulah kebebasan.
sang pedangang memahami maksud burung beo,” Terima Kasih…Hari ini kau dapat belajar sesuatu yang baru. Kau telah menunjukkan jalan kepadaku teriam kasih sobatku.
Selasa, 28 September 2010
NABI SULAIMAN & BURUNG HOOPOE
Dikisahkan bahwa bukan hanya manusia yang ingin berdekatan dengan dengan sang Nabi Sulaiman. Mereka pun ingin melayani sanga Nabi.
SAtu persatu,Mereka memperagakan Kebolehan diri. Giliran bung Hoopoe, ia mengatakan dengan suara lembut, “hanya satu keahlian yang saya miliki dan itu pun sangat tidak berarti.”
Dalam bahasa latin burung ini disebut Upupa. Setahu saya di Indonesia tidak ada burung Hoopoe (bahasa inggris). Walaupun badannya hitam dan miripi burung gagagk, Hoopoe bersuara merdu. Ceriata ini menunnjukkan seorang proses seorang siswa. Seorang Murshid (Guru), eorang master akan selalu menguji ketulusan calon murid. Ia tidak akan menerimanya begitu saja. Memiliki keahlian atau tidak, sesungguhnya tidak menjadi masalah. Yang di perhatikan oleh murshid dalah cara anda menyampaikan. Jangan sekali-sekali menyombongkan diri. Jangan piker anda sudah hebat.
Jangan arogan,”Aku pernah belajar ini, aku pernah belajar itu. Aku pernah belajar sama si Fulan. Aku kenal si Fulan.”Tidak perlu menujukkan sertifikat. Yang perlu anda tunjukan hanyalah ketulusan hati itu saja- cukup,titik.
Apapun keahlianmu, seberapa pun artinya katakana….Aku ingin mendengarkannya,” desak sanga Nabi.
“dari langit diatas sana, saya bisa melihat mata air dibawah tanah. Inilah satu-satunya keahlian saya!.” Jawab burung Hoopoe.
Ini jelas-jelas bahasa meditasi. Ketika seoarang berada di “langit meditasi” dia bisa melihat kebawah. Dia bisa melihat “mata air kesadaran” yang sesungguhnya berada dalam dirinya sendiri.
Nabi Sulaiman memahami bahasa burung Hoopoe. Dan Ia menaggapinya :
“bergabunglah dengan kami,sobat. Untuk menghadapi padang pasir kehidupan, keahlianmu akan sangat membantu.”
Tampak berlembab,sesungguhnya “permukaan hidup” kita sangat kering. Ya, amat sangat kering. Karena itu, kita mengejar “kelembaban harta”, “tahta”, dan “nama”. Kita mencari kelembaban cinta dan perhatian” dari teman dan soudara, anak, istri, suami petinggi Negara, dosen, ulama, guru. Padahal dalam diri kita sendiri ada mata air kesadaran sumber kelembaban yang tak akan pernah habis. Gali sedikit saja dan hidup anda akan langsung berlembab, tidak kering,dan tidak gersang.
Dan para penggali ini lah yang menjadi sobat para Nabi. Para “pencari” tidak bisa menjadi sobat para Nabi. Mereka terlalu sibuk mencari. Berada begitu dekat dengan seorang Nabi, mereka masih menoleh kekanan dan ke kiri. Mereka tak pernah menoleh kedalam diri satu kali saja, mereka akan menemukan bahwa yang ada di dalam dirinya, ada juga di dalam diri Nabi. Seorang nabi sudah berhasil mengangkat dirinya ke permukaan. Sementara mereka masih terus berupaya untuk itu.
Dan di akan berhenti mencari. Dia tahu persis tidak ada yang perlu dicari. Dia harus menggali. Dan untuk itu siapa lagiyang dapat membantu dirinya, kecuai seorang penggali yang sudah ahli.
Sementara burung Gagak yang mendengarkan percakapan burung Hoopoe dengan Nabi tidak bisa menahan rasa irinya, “jangan dengarkan dia.Nabi. dia bohong, sering sekali aku melihat di jatuh dalam perangkap pemburu. Jika melihat perangkap saja tidak bisa, mana mungkin dia bisa melihat mata air di bawah tanah?”
Nabi sulaiman menoleh kearah burung Hoopoe,”apa katamu? Benarkah dia?”
Si Hoopoe menjawab, “yang memberi saya mata untuk melihat mata air di bawah tanah adalah Allah. Yang membuat saya tidak melihat perangkap di atas tanah juga Allah. Siapa yang dapat melawan kehendak-Nya?”
“ketika berda di langit ,saya bisa melihat dengan jelas apa yang berda di bawah. Begitu saya turun dari ketinggian , saya terperangkap.”
Dari cerita ini kita akhiri melihat kisah Nabi Adam. Tuhan memberkahi dia dengan kesadaran, sehingga bisa member nama kepada setiap makhluk, tumbuh-tumbuhan dan benda. Tetapi begitu lalai sedikit, dia pun tergoda oleh setan. Seperti orang yang ketiduran dan barang-barangnya di ambil maling.
Bila “awan kelalaian” bisa menutupi “langit kesadaran”—itupun karena Allah. Dia menimbulkan rasa takut. Dia pula menciptakan rasa aman.
Jatuhnya burung Hoopoe dalam perngkap merupakan bagian dari evolusi batin. Pengalaman “jatuh” yang di sebabkan oleh merosotnya kesadaran sangat di butuhkan, sehingga kita bisa berhati-hati.
SAtu persatu,Mereka memperagakan Kebolehan diri. Giliran bung Hoopoe, ia mengatakan dengan suara lembut, “hanya satu keahlian yang saya miliki dan itu pun sangat tidak berarti.”
Dalam bahasa latin burung ini disebut Upupa. Setahu saya di Indonesia tidak ada burung Hoopoe (bahasa inggris). Walaupun badannya hitam dan miripi burung gagagk, Hoopoe bersuara merdu. Ceriata ini menunnjukkan seorang proses seorang siswa. Seorang Murshid (Guru), eorang master akan selalu menguji ketulusan calon murid. Ia tidak akan menerimanya begitu saja. Memiliki keahlian atau tidak, sesungguhnya tidak menjadi masalah. Yang di perhatikan oleh murshid dalah cara anda menyampaikan. Jangan sekali-sekali menyombongkan diri. Jangan piker anda sudah hebat.
Jangan arogan,”Aku pernah belajar ini, aku pernah belajar itu. Aku pernah belajar sama si Fulan. Aku kenal si Fulan.”Tidak perlu menujukkan sertifikat. Yang perlu anda tunjukan hanyalah ketulusan hati itu saja- cukup,titik.
Apapun keahlianmu, seberapa pun artinya katakana….Aku ingin mendengarkannya,” desak sanga Nabi.
“dari langit diatas sana, saya bisa melihat mata air dibawah tanah. Inilah satu-satunya keahlian saya!.” Jawab burung Hoopoe.
Ini jelas-jelas bahasa meditasi. Ketika seoarang berada di “langit meditasi” dia bisa melihat kebawah. Dia bisa melihat “mata air kesadaran” yang sesungguhnya berada dalam dirinya sendiri.
Nabi Sulaiman memahami bahasa burung Hoopoe. Dan Ia menaggapinya :
“bergabunglah dengan kami,sobat. Untuk menghadapi padang pasir kehidupan, keahlianmu akan sangat membantu.”
Tampak berlembab,sesungguhnya “permukaan hidup” kita sangat kering. Ya, amat sangat kering. Karena itu, kita mengejar “kelembaban harta”, “tahta”, dan “nama”. Kita mencari kelembaban cinta dan perhatian” dari teman dan soudara, anak, istri, suami petinggi Negara, dosen, ulama, guru. Padahal dalam diri kita sendiri ada mata air kesadaran sumber kelembaban yang tak akan pernah habis. Gali sedikit saja dan hidup anda akan langsung berlembab, tidak kering,dan tidak gersang.
Dan para penggali ini lah yang menjadi sobat para Nabi. Para “pencari” tidak bisa menjadi sobat para Nabi. Mereka terlalu sibuk mencari. Berada begitu dekat dengan seorang Nabi, mereka masih menoleh kekanan dan ke kiri. Mereka tak pernah menoleh kedalam diri satu kali saja, mereka akan menemukan bahwa yang ada di dalam dirinya, ada juga di dalam diri Nabi. Seorang nabi sudah berhasil mengangkat dirinya ke permukaan. Sementara mereka masih terus berupaya untuk itu.
Dan di akan berhenti mencari. Dia tahu persis tidak ada yang perlu dicari. Dia harus menggali. Dan untuk itu siapa lagiyang dapat membantu dirinya, kecuai seorang penggali yang sudah ahli.
Sementara burung Gagak yang mendengarkan percakapan burung Hoopoe dengan Nabi tidak bisa menahan rasa irinya, “jangan dengarkan dia.Nabi. dia bohong, sering sekali aku melihat di jatuh dalam perangkap pemburu. Jika melihat perangkap saja tidak bisa, mana mungkin dia bisa melihat mata air di bawah tanah?”
Nabi sulaiman menoleh kearah burung Hoopoe,”apa katamu? Benarkah dia?”
Si Hoopoe menjawab, “yang memberi saya mata untuk melihat mata air di bawah tanah adalah Allah. Yang membuat saya tidak melihat perangkap di atas tanah juga Allah. Siapa yang dapat melawan kehendak-Nya?”
“ketika berda di langit ,saya bisa melihat dengan jelas apa yang berda di bawah. Begitu saya turun dari ketinggian , saya terperangkap.”
Dari cerita ini kita akhiri melihat kisah Nabi Adam. Tuhan memberkahi dia dengan kesadaran, sehingga bisa member nama kepada setiap makhluk, tumbuh-tumbuhan dan benda. Tetapi begitu lalai sedikit, dia pun tergoda oleh setan. Seperti orang yang ketiduran dan barang-barangnya di ambil maling.
Bila “awan kelalaian” bisa menutupi “langit kesadaran”—itupun karena Allah. Dia menimbulkan rasa takut. Dia pula menciptakan rasa aman.
Jatuhnya burung Hoopoe dalam perngkap merupakan bagian dari evolusi batin. Pengalaman “jatuh” yang di sebabkan oleh merosotnya kesadaran sangat di butuhkan, sehingga kita bisa berhati-hati.
Langganan:
Postingan (Atom)