BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya taeniasis/cysticercosis terjadi di negara-negara berkembang yang menurut WHO prevalensinya terus meningkat di berbagai negara. Kalaupun terjadi di negara maju biasanya terjadi di daerah komunitas urban. Peningkatan kebutuhan daging dunia, perkembangan industry daging, serta lalu-lintas perdagangan ternak hidup merupakan faktor penting dalam penyebaran penyakit. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat akan mengakibatkan mobilisasi manusia/pekerja-pekerja pertanian antar daerah juga bertambah. Penyakit ini banyak ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Namun, menurut beberapa laporan, cystisercosis juga ditemukan di negara yang maju seperti di Amerika Serikat. Di negara tersebut jumlah kasus neurosistiserkosis meningkat dan diperkirakan lebih dari 1000 kasus terdiagnosis setiap tahun. Hal ini disebabkan karena peningkatan jumlah imigran dari Meksiko dan negara berkembang lain yang datang ke negara tersebut. Rosenfeld dkk. melaporkan selama tahun 1986-1994 ditemukan 47 kasus neurosistiserkosis pada anak di rumah sakit anak Chicago.
Jika mempelajari kembali prevalensi taeniasis/cysticercosis di Indonesia dari tahun ke tahun bahkan sampai tahun 2001 secara nyata justru meningkat walaupun di daerah endemik. Di Indonesia, propinsi Papua (Irian Jaya) adalah daerah yang hiperendemis sistiserkosis. Prevalensi sistiserkosis pada manusia yang tinggal di daerah pedesaan Kabupaten Jayawijaya sebesar 41,3%-66,7%. Prevalensi sistiserkosis pada babi (porcine cysticercosis) berkisar antara 62,5% sampai 77,8%, sedangkan prevalensi taeniasis solium sebesar 15% (Subahar dkk, 2001). Pasien yang menderita sistiserkosis memperlihatkan tanda-tanda dan gejala klinis seperti benjolan di bawah kulit, mengalami serangan kejang-kejang dan sakit kepala. Di samping itu, penderita sistiserkosis otak seringkali mengalami luka bakar. Penderita taeniasis solium (adult worm carriers) merupakan sumber utama penularan sistiserkosis pada manusia. Di dalam suatu keluarga, jika salah satu anggota keluarga menderita taeniasis kemungkinan anggota keluarga lainnya akan menderita sistiserkosis. Hal ini telah dilaporkan oleh Sarti dkk, di Mexico yaitu satu anggota keluarga menderita taeniasis, seringkali pada anggota keluarga lainnya didapatkan hasil sero-positif terhadap antigen T. solium. Di Indonesia, Subahar dkk, melaporkan tentang 3 keluarga pemilik babi yang tinggal di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Anti sistiserkosis antibodi ditemukan pada 2 dari 3 pemilik babi tersebut. Pada kenyataannya bahwa di daerah-daerah endemik masih banyak keluarga yang tidak memiliki jamban sehingga defekasi dilakukan di kebun sekitar rumah dan pada tempat yang sama juga melepaskan ternak babi berkeliaran sepanjang hari. Mereka mempunyai kebiasaan makan ubi jalar mentah, makan daging babi hanya dibakar saja yang diduga pemasakannya belum sempurna. Pada daerah endemik yang lain bahkan mengkonsumsi daging/darah babi mentah atau setengah matang yang dikaitkan dengan upacara pada hari besar keagamaan (Kompas 8 juli 2002; Denpasar Post Agustus 2002).
Karakteristik fisik wilayah tropik seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya. Telah dibuktikan bahwa tingkat prevalensi kecacingan di Indonesia sampai dengan tahun 1984 masih sangat tinggi yaitu sebesar 50% cacing tambang dan 65% cacing gelang (Edmundson & Edmundson 1992). Sedangkan infeksi oleh cacing pita kebanyakan disebabkan oleh cacing pita babi dan cacing pita sapi (Margono 1989) yang terjadi pada daerah-daerah tertentu dengan kekhasan tipe budaya masyarakatnya antara lain pulau Samosir, pulau Bali serta daerah migrannya di Lampung, dan Papua (Irian Jaya). Tidak dapat dipungkiri bahwa keeratan hubungan antara manusia dan ternak/hewan kesayangan baik dalam bentuk rantai makanan maupun hubungan social dapat mempertahankan kejadian penyakit yang bersifat zoonosis. Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Taeniasis dan cysticercosis adalah satu contoh zoonosis berbahaya pada manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa maupun larvanya. Penyakit ini kurang dikenal oleh masyarakat luas yang lebih mengenal anthrax atau BSE (sapi gila). Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva atau metasestoda T. solium merupakan salah satu zoonosis yang dapat memberikan gejala-gejala berat khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata. Larva menyebabkan gejala yang lebih ringan bilamana ditemukan di jaringan subkutan, otot atau organ lain.
B. Rumusan masalah
Ø Apa yang dimaksud dengan dengan penyakit zoonosis (taeniasis dan cysticercosis) ?
Ø Apa penyebab dari penyakit taeniasis dan cysticercosis ?
Ø Bagaimana gejala klinis dari taeniasis dan cysticercosis ?
Ø Bagaimana pola penyebaran dari taeniasis dan cysticercosis di Indonesia ?
Ø Bagaimana pencegahan dan pengendalian taeniasis dan cysticercosis ?
C. Tujuan Penulisan
Mengenalkan penyakit parasit zoonotik taeniasis dan cysticercosis yang meliputi antara lain cara penularan dan pencegahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
Penyakit zoonosis adalah penyakit yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Taeniasis dan cysticercosis adalah satu contoh zoonosis berbahaya pada manusia yang disebabkan oleh infeksi cacing pita dewasa maupun larvanya. Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva atau metasestoda T. solium merupakan salah satu zoonosis yang dapat memberikan gejala-gejala berat khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata. Jenis cacing pita yang umum menginfeksi manusia di dunia adalah Taenia, Echinococcus, Diphyllobothrium, Hymenolepis, dan Dipylidium (Craig et al. 1996; Raether & Hanel 2003). Namun yang bersifat obligatory-cyclozoonoses adalah Taenia saginata, T. solium, dan T. saginata taiwanensis, karena hanya manusia sebagai inang definitif yang dapat terinfeksi cacing dewasa. Sedangkan cacing yang lain inang definitif utamanya adalah karnivora. Tentu saja yang bertindak sebagai inang antara (infeksi larva) adalah hewan ternak, kesayangan, bahkan hewan liar yang erat berhubungan dengan kehidupan manusia baik dalam rantai makanan maupun kontak dengan lingkungan mereka.
Ø Taenia saginata (cacing pita daging sapi) : Cacing dewasa dapat ditemukan dalam usus manusia penderita taeniasis, berbentuk pipih panjang seperti pita dan tubuhnya beruas-ruas (segmen). Panjangnya rata-rata 5m bahkan bisa mencapai 25m yang terdiri atas lebih dari 1000 segmen (Pawlowski & Schultz 1972; Soulsby 1982; Smyth 2004). Cacing ini memiliki kepala yang disebut scolex, berdiameter 2mm menempel pada permukaan selaput lendir ususmanusia. Ketika mencapai stadium dewasa, lebih dari separuh segmennya telah mengandung telur, namun hanya beberapa puluh segmen yang mengandung telur matang disebut segmen gravid. Segmen gravid kurang lebih mengandung 800.000 telur pada setiap segmen (Soulsby 1982). Berbeda dengan T. solium, segmen gravid T. saginata spontan keluar dari anus penderita secara aktif, kadang-kadang keluar bersama tinja ketika defekasi. Apabilatelur yang bebas dari segmen gravid tersebut mencemari lingkungan pakan ternaksapi/kerbau, telur yang tertelan ternak menetas dalam ususnya. Embrio (oncosphere) cacing menembus dinding usus kemudian bermigrasi ke seluruh bagian tubuh melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Selama migrasi oncosphere mengalami perkembangan sampai tiba pada habitat yang cocok tumbuh menjadi larva setelah 2-3 bulan. Larva ini juga disebut metacestoda atau lebih dikenal sebagai cacing gelembung yang berukuran (4-5)mm x (7.5-10)mm. Larva yang menyerupai balon kecil yang berisi cairan ini disebut Cysticercus bovis dapat ditemukan dalam jaringan otot/organ tubuh sapi/kerbau. Habitat utamanya adalah otot lidah, otot pengunyah, diafragma, jantung (Urquhart et al. 1987), namun dengan infeksi percobaan (T. saginata strain Bali) cysticercus tersebar ke seluruh otot sapi coba (Dharmawan 1995). Di dalam tubuh sapi cysticercus dapat bertahan hidup selama beberapa tahun. Manusia yang mengonsumsi daging sapi yang mengandung cysticercus hidup selanjutnya berkembang menjadi T. saginata dalam ususnya.
Ø Taenia solium (cacing pita daging babi) : Cacing ini disebut juga cacing pita daging babi karena hewan babi bertindak sebagai inang antaranya yang mengandung larvanya. Ukuran cacing dewasa relatif lebih pendek dibandingkan dengan T. saginata yaitu antara 2-8m (Noble & Noble 1982; Soulsby 1982). Setiap individu cacing dewasa terdiri atas 800-900 segmen (Cheng 1986) hingga 1000 segmen (Soulsby 1982; Noble & Noble 1982). Berbeda dengan scolex T. saginata, selain diameternya lebih kecil yaitu 1mm dilengkapi dengan 2 baris kait di sekeliling rostellumnya. Mungkin karena ukurannya lebih kecil, setiap segmen gravidnya mengandung 4000 telur. Segmen gravid T. solium dikeluarkan bersama-sama tinja penderita taeniasis solium. Siklus hidup T. solium secara umum memiliki pola yang sama dengan Taenia yang lain, yang membedakan adalah inang antaranya yaitu babi. Namun menurut beberapa penulis pernah dilaporkan bahwa mamalia piaraan lainnya dapat juga sebagai inang antaranya (Ito et al. 2002). Babi adalah hewan omnivora termasuk makan tinja manusia, oleh karena itu sering ditemui beberapa ekor babi menderita cysticercosis berat, sehingga sekali menyayat sepotong daging tampak ratusan Cysticercus cellulosae (Noble & Noble 1982). Larva ini mudah ditemukan dalam jaringan otot melintang tubuh babi. Celakanya telur T. solium juga menetas dalam usus manusia sehingga manusia dapat bertindak sebagai inang antara walaupun secara kebetulan (Townes 2004; Wandra et al. 2003). Pada tubuh manusia penderita cysticercosis, larva cacing (Cysticercus cellulosae) dapat ditemukan dalam jaringan otak besar maupun kecil, selaput otak, jantung, mata, dan di bawah kulit (Noble & Noble 1982; Simanjuntak et al 1997; Wandra et al. 2003). Penularan dapat terjadi secara langsung karena menelan telur cacing yang mengontaminasi makanan atau minuman. Tetapi yang sering terjadi adalah autoinfeksi melalui tangan yang kurang bersih/setelah menggaruk-garuk bagian. tubuh yang terkontaminasi telur cacing atau secara internal yang diakibatkan oleh refleks muntah pada penderita taeniasis.
Ø Taenia saginata taiwannesis (cacing pita daging babi) : Secara morfologis cacing ini sangat mirip dengan T. saginata, memiliki nama lain T. asiatica ( Eom & Rim 1993 Didalam : Dharmawan 1995 ). Keberadaan cacing ini di Indonesia relatif baru dideskripsikan dari penderita di Sumatra Utara ( Fan et al. 1989; Dharmawan 1995 ). Pada prinsipnya siklus hidupnya tidak berbeda dengan taenia manusia yang lain. Namun yang menjadi perhatian adalah cysticercusnya hanya ditemukan dalam organ hati babi sebagai inang antara, walaupun secara eksperimental juga berkembang dalam tubuh sapi ( Dharmawan 1995 ). Pada awal studi diketahui bahwa anggota penduduk setempat menderita taeniasis yang didiagnosis sebagai Taeniasis saginata, padahal mereka sama sekali tidak mengonsumsi daging sapi melainkan daging babi.
Gambar Siklus hidup taenia manusia (cacing pita sapi dan cacing pita babi)
GEJALA KLINIS TAENIASIS DAN CYSTICERCOSIS
Menurut Symons (1989) jumlah cacing pita dalam usus kurang berpengaruh terhadap perubahan patologis dibandingkan dengan ukuran tubuh cacing. Walaupun hanya terdapat 1-2 ekor dan ukurannya besar dampak patologisnya lebih nyata. Penderita taeniasis jarang menunjukkan gejala yang khas walaupun di dalam ususnya terdapat cacing taenia selama bertahun-tahun, tetapi biasanya hanya terdapat satu ekor. Justru keluhan yang sangat mengganggu adalah dalam bentuk kejiwaan adalah keluarnya segmen gravid dari anus penderita yang menimbulkan kegelisahan (Dharmawan 1995). Gejala umum yang biasanya menyertai taeniasis adalah mual, sakit di ulu hati, perut mulas, diare bahkan kadang-kadang sembelit, nafsu makan berkurang hingga menurunkan berat badan, pening, muntah, nyeri otot, serta kejang-kejang (Fan et al. 1992). Menurutnya pula bahwa pasien taeniasis tetap mengeluarkan segmen gravid selama 1-30 tahun. Gejala klinis cysticercosis pada manusia sangat bergantung pada organ serta jumlah cysticercus yang tinggal. Infeksi berat pada otot menyebabkan peradangan (myocitis) yang bisanya menimbulkan demam. Jika menyerang organ mata (Ocular- Cysticercosis) gejala yang paling berat adalah kebutaan (Smyth 2004). Gejala-gejala syaraf seperti kelumpuhan, kejang, hingga epilepsi, dapat dipastikan bahwa larva tersebut menempati organ-organ yang sarat dengan jaringan syaraf seperti otak/selaput otak atau sumsum tulang belakang.
Gambar Larva cacing pita babi (Cysticercus cellulosae) Di dalam jaringan otak manusia
(Smyth 2004)
PENYEBARAN TAENIASIS DAN CYSTICERCOSIS DI INDONESIA
Menurut sejarahnya bahwa taeniasis/cysticercosis telah menyerang manusia sejak ribuan tahun yang lalu ketika antelope atau hewan ruminansia lainnya merupakan hewan buruan. Pada awalnya hyena dan kucing besar sebagai inang definifnya, sedangkan inang antaranya adalah ruminansia liar. Tentunya hal ini terjadi jauh sebelum domestikasi babi maupun babi yang disertai dengan perkembangan pertanian dan kehidupan manusia moderen. Distribusi T. saginata dan T. solium hampir ke seluruh penjuru dunia dan diperkirakan terjadi seratus juta kasus penyakit setiap tahunnya. Kejadiannya pada umumnya berkaitan dengan masalah sosial-budaya-keagamaan masyarakat tertentu dalam hal mengonsumsi daging babi. Selain itu sanitasi lingkungan dan yang berhubungan dengan menejemen ternak dan cara pembuangan tinja manusia. Dari berbagai faktor tersebut terbukti bahwa penyebaran taeniasis/cysticercosis di Indonesia terdapat di daerah-daerah tertentu yang berhubungan dengan adat- istiadat penduduk
setempat. Kasus cysticercosis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh LeCoultre di Bali pada tahun 1920 yang agennya adalah Cysticercus cellulosae. Suweta (1991) mengompilasi berbagai pengamatan epidemiologis hingga tahun 1989 di Bali masih ada kasus taeniasis/cysticercosis pada manusia maupun ternak. Metode yang umum digunakan dalam survei epidemiologis adalah kuesioner yang diteguhkan dengan pemeriksaan laboratoris untuk mengetahui tingkat prevalensi. Dengan teknik diagnostic serologis Sutisna et al. (1999) dan Dharmawan (1995) masih membuktikan adanya kasus penyakit tersebut yang memang endemik di daratan Asia Tenggara. Papua juga merupakan daerah endemik cysticercosis/taeniasis sejak dilaporkan pertama kali pada tahun 1971 (Gunawan et al. 1976) yang konon adalah kiriman dari Bali. Tampaknya kejadiannya semakin meluas bahkan Papua New Guinea (PNG) merupakan daerah yang berisiko tinggi (McManus 1995) sebagai akibat lalu-lintas penduduk maupun ternak. Kejadian penyakit di daerah ini sangat mengejutkan WHO (Republika 3 Maret 2001) sampai disebut sebagai musibah nasional karena kasusnya terus meningkat hingga tahun 2001. Dengan manggunakan metode diagnosis yang semakin berkembang diantaranya yaitu teknik coproantigen dan analisis DNA mitochondria telah dilakukan untuk studi prevalensi serta identifikasi agennya (Margono et al. 2003; Wandra et al. 2003) yang tentunya akan berguna sebagai dasar pengendalian yang tepat. Yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama lagi kita dapat melihat evaluasi hasil program pengendalian yang nyata menurunkan tingkat kejadian penyakit tersebut yang tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN TAENIASIS/CYSTICERCOSIS
Berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit merupakan titik kritis dalam menentukan strategi pencegahan maupun pengendalian. Titik kritis tersebut adalah sumber infeksi, inang yang rentan, serta transmisi penyakit yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Manusia maupun hewan penderita taeniasis/cysticercosis menghasilkan telur/segmen gravid atau larva infektif serta segala sesuatu yang tercemar telur cacing merupakan sumber penularan potensial. Pemberian anticestoda bagi penderita adalah upaya pengendalian yang penting terutama pada manusia. Pengobatan cysticercosis pada ternak jarang dilakukan karena dinilai kurang ekonomis, disamping itu sebelumnya perlu diagnosis terlebih dahulu dengan biaya yang memerlukan biaya cukup mahal. Kalaupun dilakukan uji serologis pada populasi ternak biasanya untuk keperluan studi epidemiologis. Sedangkan cysticercosis pada manusia (neuro-cysticercosis, ocular-cysticercosis) biasanya berakibat fatal sebelum dilakukan pengobatan. Peningkatan pemeriksaan kesehatan daging di rumah pemotongan hewan (RPH) oleh pejabat berwenang sangat diperlukan untuk pencegahan taeniasis manusia. Selain itu penyuluhan tentang sanitasi lingkungan dan konsumsi daging masak kepada masyarakat terutama yang berisiko tinggi. Pemasakan daging yang dapat membunuh cysticercus adalah pemanasan dengan suhu 50-60°C atau pembekuan pada suhu -10°C selama 10-14 hari. Banyak perdebatan tentang ketentuan tersebut karena berat/jumlah daging yang dipanaskan berhubungan dengan waktu pemanasan agar larva yang terkandung mati (Hilwig et al. 1978 di dalam: Soulsby 1982). Dengan demikian pula dengan pembekuan pada suhu -5°C memerlukan waktu 4 hari, -15°C selama 3 hari, dan -24°C cukup sehari (Smyth 2004). Perbaikan tata laksana peternakan sapi maupun babi adalah satu hal yang harus dilakukan untuk pencegahan cysticercosis pada ternak. Pada prinsipnya adalah mencegah kontak antara ternak/pakan ternak dengan tinja manusia penderita taeniasis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ø Penyakit zoonosis taeniasis dan cysticercosis banyak ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
Ø Karakteristik fisik wilayah tropik seperti Indonesia merupakan surga bagi kelangsungan hidup cacing parasitik yang ditunjang oleh pola hidup kesehatan masyarakatnya.
Ø Daerah-daerah endemik masih banyak keluarga yang tidak memiliki jamban sehingga defekasi dilakukan di kebun sekitar rumah dan pada tempat yang sama juga melepaskan ternak babi berkeliaran sepanjang hari. Mereka mempunyai kebiasaan makan ubi jalar mentah, makan daging babi hanya dibakar saja yang diduga pemasakannya belum sempurna. Pada daerah endemik yang lain bahkan mengkonsumsi daging/darah babi mentah atau setengah matang yang dikaitkan dengan upacara pada hari besar keagamaan.
Ø Masih kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit zoonis taeniasis dan cysticercosis.
Ø Penyakit ini dapat menyebabkan gejala yang bisa fatal bagi penderitannya.
Ø Pencegahan kontak antara ternak/pakan ternak dengan tinja manusia penderita taeniasis dan pengobatan yang tepat untuk mengatasi penyakit tersebut.
B. Saran
Ø Penyuluhan terhadap masyarakat tentang penyakit zoonosis taeniasis dan cysticercosis.
Ø Atas kekurangan dan minimnya tulisan ini di mohon kritik dan saran untuk upaya perbaikan dan pengayaannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rizal Subahar, Abdulbar Hamid, Wilfried Purba, Widarso, Akira Ito dan Sri S Margono, TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI ANTARA ANGGOTA KELUARGA DI BEBERAPA DESA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PAPUA, JUNI 2005.
2. Elok Budi Retnani, TAENIASIS DAN CYSTICERCOSIS : PENYAKIT ZOONOSIS YANG KURANG DIKENAL OLEH MASYARAKAT DI INDONESI, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar