Jumat, 11 Juni 2010

Eksplorasi dan Rekonstruksi Wacana dalam Praksis Studi Kebudayaan

Eksplorasi & Rekonstruksi Wacana dalam Praksis Studi Kebudayaan

Membahas wacana kebudayaan, suatu paradigma yang barangkali mustahak atau sahih bisa digunakan adalah menempatkan teminologi dan arti semantik kata ‘kebudayaan” sebagai alam kondrati manusia. Berangkat dari jati diri manusia yang khas dengan segala jenis keunikannya, kebudayaan juga sebagai bentuk ekspmsi dalam ceruk (niche) atau ruang habitatnya yang terdekat. Maka kebudayaan memiliki jenis dan perbedaannya yang khusus (Genus proximum et differenfia spesifica). Kebudayaan adalah suatu Gestalt atau organisasi pikiran yang dibentuk manusia dalam ruang yang berelasi dengan materia alam dan dirinya sendiri. Humanisasi progresif pada alam merupakan bentuk konkrit dari ulah manusia. Pemaknaan kata culture sebagai kebudayaan dan civilization sebagai peradaban yang digunakan sejak Kongres Kebudayaan Indonesia 1948 dan 1960 masih dalam berdebatan, dan maknanya terus berkembang. Hingga Kroeber dan Kluchom, 1952, telah mengiventarisir 160 definisi kebudayaan, dan membagi kedalam tujuh kategori dari sudut pandang sosiologi, sejarah, filsafat, antropologi, psikologi, etnologi, supestruktur ideologis pertentang klas(Marx), gaya hidup (life style), dan kehidupan yang nyaman (comfort). Dalam kamus bahasa Indonesia, kata adab lebih menekankan pada perilaku sopan santun atau etiket. Padahal culture lebih menekankan pada aspek rasional dan moral, sedangkan civilization lebih berpusat pada bentuk materia konkret kebudayaan seperti gedung-gedung, kendaraan, tata pergaulan, proses politik dan kelembagaan organisasi serta manajemen.
Dalam wacana kebudayaan yang dilansir oleh Edward Sprenger kemudian dikembangkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, bahwa kebudayaan sebagai Gestalt merupakan sistem nilai sebagai percikan mozaik alam pikiran manusia. Kategorisasi yang diiksplorasi Sprenger ialah: Kebudayaan Ekspresif dan Kebudayaan Progresif. Kebudayaan ekspresif menyangkut bentuk-bentuk yang berkaitan dengan wilayah affek seperti Nilai Seni (Art) dan Nilai Agama (Relligion).
Sedangkan kebudayaan progresif menyangkut bentuk-bentuk yang berkaitan dengan wilayah kognisi seperti Nilai Teori dan Nilai Ekonomi. Selain dari itu ada kategori yang menjelaskan relasi antar manusia yang didefinisikan oleh Sprenger sebagai Nilai Kekuasaan (Politik) dan Nilai Solidaritas. Teori Kebudayaan dart Sponger yang dikembangkan oleh Takdir Alisjahbana hanyalah sekedar contoh. Banyak lagi teori kebudayaan yang dibuat oleh para filsuf dan pemikir budaya seperti Mazhab Skolastik Yunani, Mazhab Frankfurt, Mazhab Vinna, Mazhab Perancis, Inggris, hingga aliran pemikiran post structuralis dan post modernism. Teori dan mazhab pemikiran semacam itu adalah salah Satu bukti bahwa manusia membangun komunitas alam pikirannya untuk menjawab tantangan alam dan tantangan zaman. Sebagaimana yang dikatakan Bakker, 1988, bahwa kebudayaan adalah alam kodrat sendiri sebagai milik manusia, sebagai ruang lingkup realisasi diri. Seorang primitif tidak merasa celaka karena ia seakan-akan belum menguasai daya alam dan kebudayaan yang belum lengkap. Meraka dapat bergerak secara wajar dalam alam lingkungannya, sejauh alam itu ditemukan sebagai pengisi kebutuhannya, sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, sebagai - Nilai kegelisahannya- untuk mengatasi hidup dan mencari kebahagiaan.

Eksplorasi dan Rekonstruksi

Membangun sebuah wacana kebudayaan adalah suatu proses belajar yang panjang, hingga terbentuknya tradisi dan sistem nilai dari komunitas manusia. Berangkat dari suatu kegelisahan individual yang mempertanyakan segala sesuatu yang menyangkut hidup dan kehidupan - dalam dimensi ruang, waktu dan kejadian. Eksplorasi berarti menggali sedalam-dalamnya mengenai kesejatian hidup, “sangkan paraning dumadi.” Kesejatian alam (makrokosmos) dan kesejatian diri (mikrokosmos). Maka eksplorasi kewilayah filsafat ilmu menjadi titik pusat, bagaimana ilmu membentuk sistem nilai, tradisi, dan arah kehidupan manusia.
Rekonstruksi berarti membuat bentuk konstruksi pemikiran sebagai bagian dari sistem nilai yang akan membawa komunitas manusia pada arah yang di bayangkan. Dalam rekonstruksi biasanya terjadi benturan antara imajinasi teoritis dengan realitas, antara kenyataan subjektif dengan kenyataan objektif. Satu contoh pemikiran eksploratif, seperti yang dinyatakan oleh oleh Ernst Cassirer dalam Philiosohy Of Symbolic Form: “Ilmu pengetahuan adalah langkah terakhir dalam perkembangan mental manusia dan boleh dianggap sebagai pencapaian tertinggi dan paling karakteristik dalam kebudayaan manusia.. . Dalam duni modern tak ada kekuatan lain yang bisa disejajarkan dengan pemikiran ilmiah. llmu diyakini sebagai puncak dan penyempurnaan semua aktivitas manusiawi, bab terakhir dalam sejarah umaf manusia dan pokok terpenting dalam filsafat manusia“. llmu pengetahuan adalah salah satu cara manusia memberi makna tentang alam dan dirinya sendiri melalui bahasa simbolik yang menjadi formula di dalam organisasi pikirannya (Gestalt). Ini berarti eksplorasi kewilayah linguistik menjadi satu tantangan, untuk memahami alam pikiran dan perilaku komunitas manusia. Bahasa rnerupakan wilayah simbolik suatu bentuk konstruksi dunia yang dibayangkan. Namun banyak kendala dalam mengeksplor makna bahasa kedalam pengertian umum yang dapat diterima (konvensi), sebab kata-kata dalam bahasa dapat bersifat univok (makna tunggal yang menunujuk objek) maupun equivok (makna padanan untuk menunjuk suatu objek). Munculah perang istilah yang tidak ada habisnya.
Sebagai satu contohpemikiran eksploratif untuk mengkaji kebudayaan umat manusia. Dalam tulisannya itu, Nirwan mengeksplanasikan bahwa dunia adalah medan laga, bak papan catur pertarungan pemikiran keilmuan. Meskipun prestasi ilmu demikian mencolok, namun banyak pihak masih salah paham terhadapnya. Bahkan konsep ilmu mengalami hambatan serius manakala dalam proses iimplemetasi didistorsi untuk kepentingan politik yang memiliki pahamnya sendiri. Sebagaimana yang dicatat Nirwan, bahwa sejarah pengetahuan ilmiah tak dibentuk melulu oleh cantatan pencapaian yang revolusioner. Sejarah itu juga disesaki oleh gelobang kecaman dan permusuhan yang menderu dari berbagai penjuru. Dari sayap kanan, kelompok religius, atas nama penyelamatan manusia, menghantam dengan alasan teologis kepadanya (ilmu pengetahuan). Dari sayap kiri, khusus yang menghirup inspirasi Marx, atas nama pembebasan manusia menghujamkan alasan ideolois. Kelak, kata Nirwan, kedua sayap yang saling baku musuh itu bergabung menghantam alasan-alasan epistemologis yang membuat mereka yakin – bahwa pengetahuan ilmiah sudah mati - jika belum secara klinis setidaknya secara filosofis. Pernyataan Nirwan menunjukan bahwa tarikan alur pemikiran keilmuan yang berkecamuk befum dapat memberi harapan mengenai krisis duniawi. Namun ilmu pengetahuan mutakhir di bidang fisika telah memberi pemahaman baru bahwa ada kesinambungan kosmos dan manusia. Kendatipun masih perlu diikuti secara kritis. Ini akan berimplikasi pada pemahaman teologis mengenai apakah dunia ini kekal (kontinue) atau tidak kekal (diskontinue).
Eksplorasi dan rekonstruksi filsafat bertugas untuk mengadakan refleksi tentang kebudayaan dan menafsirkan pada derajat metafisik. Artinya filsafat mengabstraksi hingga tataran ada (ontologi) dan mengada (epistemoIogi) untuk menggapai tahap pemikiran teleologis mengenai ada itu sendiri (sangkan paran). Muara dari ekspkxasi filsafat ialah untuk menemukan landasan etis dan hukum untuk mengatur sistem metabolisme perilaku masyarakat. Eksplorasi juga bermakna membongkar kembali paradigma lama yang tidak relevan dari tuntutan zaman, sebagaimana gerakan pemikiran posmodern di Perancis. Selain itu dibangun suatu rekonstruksi pemikiran yang mengarah pada sintesis, sebagai azas dialetik tesis-antitesis-sintesis.
Pertanyaannya sekarang, apakah yang menjadi kepedulian kita terhadap studi kebudayaan? Apakah yang menjadi objek masalah dalam ceruk ruang yang amat terbatas ini (niche) ini? Kegiatan eksplorasi dan rekonstruksi pemikiran jelas merupakan wilayah intelektual memalui proses belajar yang tak pemah henti, kajian melalui teks, kesadaran pancaindera terhadap objek menuntut keperdulian intelektual yang tidak bisa main-main, apalagi hanya sekedar numpang lewat. Lembaga Studi kebudayaan UMM, setidaknya punya visi memberikan arah yang kondusif bagi kegiatan intelektual, meskipun dalam pergumulan pemikiran akan menghadapi resiko yang amat berat, yaitu mempertahankan keyakinan pemikiran dari intervensi politik yang acap justru bisa jadi - membunuh pemikiran itu sendiri.

Wacana dan praksis Studi Kebudayaan

Kegiatan kebudayaan bukan dibuat oleh hanya segelintir orang. Ini menunjukan bahwa habitat kebudayaan dimulai dari pola pemikiran rasional dan moral manusia yang menghuni habitat tersebut. Pemikir besar sekaliber, Marx, Iqbal, Freud, Hegel, mereka berangkat dari proses belajar tekstual dan kontekstual di dalam ceruk habitat yang dihadapinya. Amatlah disayangkan bila pembangunan wacana berangkat dari teks yang bertebaran di pasaran ide laiknya hubungan produsen dan konsumen sungguhpun tidak mungkin kita nafikkan, dimana perangkap hegemoni pemikiran amat mudah terjadi. Proses yang demikian akan melahirkan wacana yang tidak otentik, - atau setidaknya hanya menjadi tukang jahit (tailoring) pemikiran. Tercerabut dari konteks objek kajian di dalam ceruk habitatnya. Adalah amat logis bila kita perlu membuat kesepakatan mengenai wilayah objek kajian secara tekstual , dan wilayah ceruk ruang kajian yang kita miliki. Sehingga praksis kebudayaan bisa kita formulasikan untuk menjadi kegiatan yang bisa dilakukan.
Satu tawaran yang mungkin bisa dilakukan, yaitu menjelajah kewilayah kajian tekstual berbagai mazhab pemikiran filsafat baik Barat maupun Timur. Dari skolastik Yunani Socrates, Plato, Aristoteles hingga filsafat kritis Habermas dan eksistensialis Jaspers di Barat. Dari Laotze(Cina) dan Rabidranath Tagore (India) hingga pemikir Indonesia dari Hamzah Fansuri danNurcholis Madjid, Ainun Nadjib atawa Gunawan Mohammad. Bahkan Muhadjir Effendy, dalam lingkup ceruk UMM. Pejelajahan itu setidaknya akan memberi ruang imajinasi untuk membuat praksis budaya yaitu memperkaya khasanah intelektuat, dan mecari hawa akademis. Sekaiigus menciptakan komunitas akademis yang peduli pada wacana pemikiran kebudayaan. Tema kajian tekstual diselengarakan secara reguler dan terarah, sehingga dihasilkan karya-karya yang dapat dipublikasikan sekalipun bentuk dan muatannya masih sederhana. Dokumentasi karya-karya penjelajahan intelektual memertukan ketekunan tersendiri, dan dilakukan dengan penuh kesadaran - tanpa ada paksaan dari manapun atau pamrih - untuk mendapat sesuatu, sebagaimana HB. Jasin membuat tulisan mengenai kritik sastra, dan publikasi sastra serta koleksi dokumentasi sastra Indonesia. Suatu pekejaan yang tidak bisa dilakukan tergopoh-gopoh laiknya menggoreng pisang.
Barangkali pengalaman FX, Budi Hardiman, 1994, bisa menjadi contoh proses pengkajian pemikiran filsafat dan kebudayaan, dalam karyanya Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pascamodernisme. Karya ini memaparkan kisah pertarungan permikiran manusia. Pertarungan dua pahlawan peradaban : Logos dan Mitos. Kisah pertarungan itu ditutup dengan meyakinkan yaitu kematian sang antagonis yakni mitos dan kemenangan sang protagonis alias Logos dalam maknawi ialah Rasio Manusia. Sejarah Moderinitas dewasa ini adalah sejarah rasionalisasi dimana sang protagonis muncul dalam baju sains, yang kemudian menjadi saintisme. Tapi pandangan Adorno dan Horkheimer dari Mazhab Frankfurt Jerman termasuk dua filsuf besar abad ini - setelah melihat dua Perang Dunia sebagai hasil paling bertanggungjawab dari saintisme, Rasio manusia itu temyata telah menunjukkan dirinya sebagai ‘Mitos Baru”. Munculah perlawanan terhadap saintisme - yang dianggap gagal - mewujudkan cita-cita pencerahan manusia yang akan membawa kebahagian sejati pada seluruh umat manusia. Perlawanan saintisme diwujudkan dalam bentuk teori Tindakan seperti - Fenomenologi dan Hermeneutika. Kemudian muncul belakangan Teori Kritis dari Jurgen Habermas yang juga dedengkot Mazhab Frankfurt yang mengupas Teori Rasio komunikasi inter-subjektive, sebagai kebangkitan kepercayaan (revitalitas) akan kemampuan Rasio Manusia. Namun pada decade terakhir ini justru saintisme mendapatkan tantangan besar bahkan usaha pembunuhan atas Rasio - melalui tradisi yang menyebut dirinya pasca-strukturalisme dan pasca-modemisme.
Namun pada akhimya Budi Hardiman menyimpulkan bahwa wacana modernisme dan pasca-modernisme semacam fashion alias mode atau stimmung meminjam istilah Martin Heidegger yang berarti suasana hati yang menggejala, atau mood. Tak ubahnya seperti musik rap atawa break dance. Satu simpulan yang perlu kita cermati bahwa munculnya wacana pasca-modermisme menandai - suatu krisis intelektual - dalam ilmu-ilmu sosial dan alam pikir modern itu sendiri. Setidaknya mengalami koma secara filosofis maupun etis. Gejala yang barangkali perlu diwaspadai ialah munculnya penyakit intelectual hybris alias keangkuhan intelektual atau kerendahan hati terhadap upaya intelektual yang gampang kepeleset dalam rawa-rawa nihilisme, relativisme, irrasionalisme, atau totalitarianisme hegemonik, teror, dan sebagainya.

Penutup

Istilah daya hidup yang kerap dilansir oleh penyair WS. Rendra, adalah kata kunci kebudayaan dan peradaban. Pemikiran yang membunuh kehiiupan adalah musuh yang harus dilawan, karena perjuangan adalah pelaksanaan dari kata-kata, Bahwa kata-kata itu sendiri adalah pikiran dan tenaga yang membangkitkan daya hidup. Entahlah bila kata-kata itu sendiri telah mati dan kehilangan maknawinya. lnilah makna dari eksplorasi rekonstruksi dari sebuah wacana dan praksis kebudayaan. Kata-kata menjadi praksis, adalah kesadaran inderawi untuk menangkap kenyataan, apakah kenyataan akan menyeret kita kejurang kebinasaan. Atau justru menarik kita dari lembah angkara murka menuju titik pencerahan intelektual dan moral. Allhu’alam.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar